Di sebuah kerajaan yang damai, hiduplah raja dan permaisuri dengan seorang putra mahkota. Raja memiliki sikap yang bijaksana dan melayani rakyatnya dengan tulus hati. Demikian pula dengan permaisuri, ia menjadi istri raja yang setia dan punya ambisi untuk meningkatkan derajat kaum wanita di kerajaan itu. Namun berbeda halnya dengan putra mahkota yang kerap bersikap egois, seenaknya sendiri, sombong, dan tidak peduli penderitaan orang lain dan yang sangat disayangkan lagi, putra mahkota ini malas belajar.
Melihat
gelagat sikap yang kurang baik, raja menjadi khawatir karena kerajaan ini suatu
saat akan diserahkan kepada putranya. Oleh sebab itu raja bertanya kepada
permaisuri, bagaimana keseharian putra mahkota di rumah ketika ditinggal
mengurus kerajaan. Permainsuri menjawab bahwa dirinya terlalu sibuk dengan
pekerjaannya sehingga kurang mendampingi
putra mahkota dengan total. Lanjut permaisuri, sering kali putra mahkota
diserahkan kepada pelayan untuk diawasi, namun ternyata kerap kali lepas dari
pengawasan para pelayan.
Raja tidak
marah pada permaisuri, Karena permaisuri pun punya tugas mulia demi
kesejahteraan kaum wanita di kerajaannya. Raja kemudian berdiskusi dengan
permaisuri, tentang langkah ke depan yang akan dilakukan untuk mempersiapkan
putra mahkota menjadi seorang penerus yang dapat melayani dan melindungi
rakyatnya.
Akhirnya
disepakati bahwa putra mahkota akan dikirim untuk belajar kepada guru agung di
puncak gunung. Keesokkan harinya ketika putra mahkota sedang beristirahat, raja
memanggil putra mahkota dan bertitah agar putra mahkota belajar bersama guru
agung di puncak gunung. Mendengar perintah ini putra mahkota marah karena
terlalu mendadak, dan mengapa harus jauh dari kota?
Walaupun
dengan kesal namun putra mahkota tetap patuh pada titah raja. Akhirnya putra
mahkota berangkat diantar oleh raja. Sesampai di tempat guru agung, putra
mahkota langsung berulah. Ia tidak mau mengikuti apa yang dikatakan oleh guru
itu. Namun ada peraturan di tempat itu bahwa siapa yang tidak patuh ia tidak
boleh makan. Putra mahkota akhirnya mengikuti perintah dari guru itu.
Hari
pertama, putra mahkota sudah diperintah untuk mengabil air dari mata air yang
jaraknya sekitar 5 km. Putra mahkota mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk
memindahkan air dari mata air ke rumah sang guru. Dan sangat terkejut putra
mahkota ketika didapati bahwa ember untuk mengambil air ternyata berlubang di
tengahnya. Hal ini mengakibatkan air yang dibawa selalu tinggal setengah saja.
Guru agung
berpesan bahwa jangan sekali-kali curang dalam membawa air karena jika curang
maka tetap tidak akan ada makanan untuk disantap. Mendapat ultimatum ini, mau
tidak mau putra mahkota selalu memenuhi ember itu. Dan setiap kali membawa
tetap hanya setengah saja yang didapat. Hal ini dilakukan terus oleh putra
mahkota selama 9 bulan. Dan akhirnya putra mahkota marah dan diam.
Putra
mahkota yang marah ini pun ingin tahu juga mengapa ia harus membawa ember air
dengan lubang di tengahnya. Maka putra mahkota berkata: “aku tidak mau lagi
mengambil air, apalagi dengan ember yang berlubang di tengah, itu kan sia-sia
saja”. Mendengar perkataan itu sang guru menjawab: “apa sia-sia?” Guru mengajak
putra mahkota untuk menyusuri jalan menuju ke mata air. Di sana sang guru
menunjukkan bahwa lihatlah jalan ini, di sisi kiri dan kanan dipenuhi dengan
bunga-bunga yang cantik, bagus, indah dan harum. Lihat mereka hidup karena
putra mahkota yang melayaninya dengan cara memberi air setiap kali mengambil
air dari mata air. Mendengar penjelasan guru akhirnya putra mahkota sadar bahwa
selama ini sikapnya tidak terpuji. Maka putra mahkota melanjutkan kembali tugas
mengambil air itu dengan sukacita, dan berjanji akan bersikap rendah hati dan
tidak sombong ketika nanti kembali ke kerajaan.
Tidak terasa
sudah satu tahun putra mahkota menjalani pekerjaan ini. Dan malam ini terlihat
dari kejauhan pesta kembang api pergantian tahun baru. Putra mahkota melihat bagaimana
suka cita kerajaan dari kejauhan. Putra mahkota kagum pada raja yang sudah
menjadikan rakyatnya begitu bahagia. Maka putra mahkota berjanji, kelak ketika
menjadi raja ia tidak akan merusak hal baik yang sudah ada. Putra mahkota ingin
rakyatnya tetap merasa bahagia dan damai di kerajaan ini.
Guru melihat
bahwa sikap putra mahkota sudah berubah maka guru membebaskan putra mahkota
untuk pulang kembali ke kerajaannya. Betapa gembira hati putra mahkota
mendengar hal ini. Di sepanjang perjalanan pulang putra mahkota menyapa rakyat
yang sedang merayakan tahun baru. Rakyat senang sekali mendapat sapaan dari
putra mahkota. Putra mahkota membalasnya dengan tersenyum dan mengucapkan “SELAMAT
TAHUN BARU” sebari mengulurkan tangannya.
Demikianlah
pembelajaran hidup sang pangerah mencari kebijaksanaan dan kerendahan hati. Pangerahan
siap menggantikan raja kapanpun dibutuhkan.