Seisi rumah tiba-tiba heboh ketika Amir minta hp kepada Bapak.
"Hp?" Bapak mengeryitkan kening.
"Handphone, pak!" jelas Tuti sambil menatap cemas wajah Bapak.
Marahkah, Bapak?
Sebagai tukang bakso keliling, penghasilan Bapak tidak banyak. Untuk membiayai keluarganya, Bapak harus bekerja keras dari pagi sampai malam.
Tuti juga ingin punya handphone, seperti Amir, adiknya. Sudah lama dia memendam keinginan. Ketika Amir tiba-tiba membuat heboh dengan permintaan itu, timbul harapan di hati Tuti."Semua teman Amir punya hp. Cuma Amir yang belum. Belikan, ya, Pak?" pinta Amir penuh harap. Tuti mengangguk, seolah dia yang mengutarakan keinginan itu.
Bapak menggaruk kepala, sementara Emak memandangi Bapak. Emak, Amir dan Tuti menunggu jawaban Bapak. Tuti berharap, kalau Bapak membelikan hp untuk Amir, dia bisa meminjamnya sekali-kali untuk menghubungi teman-temannya. Hampir semua temannya di kelas memilik hp.
Sebenarnya, Bapak ingin membelikan hp untuk kedua anaknya itu. Tetapi, darimana uangnya?
"Yang bekas juga tidak apa-apa, Pak. Yang penting punya hp," harap Amir. Lagi-lagi Tuti mengangguk.
"Memangnya, penting sekali punya hp?"
Amir terlihat ragu. Tuti cepat menyambar,"Penting sih, tidak, Pak. Cuma malu, dikatakan gaptek sama teman-teman."
"Gaptek?" Kening Bapak mengerut.
"Gagap teknologi, artinya ketinggalan jaman," jelas Tuti.
Bapak mengangguk-angguk. Kemudian Bapak memandang Emak. "Menurut Emak?"
"Emak kepingin anak-anak punya hp, supaya tidak malu pada teman-teman mereka. Tetapi, terserah Bapak. Emak, kan, tidak punya uang."
"Kalau kamu bagaimana Tut?"
Tuti mengangguk."Tuti juga kepingin Amir punya hp, supaya bisa pinjam."
Bapak mengangguk-angguk, terlihat berpikir keras. "Jadi, kalian semua mendukung keinginan Amir?"
Emak dan Tuti mengangguk.
"Kalau begitu, kita semua yang akan membelikan hp untuk Amir?"
"Kita?"
Bapak menggangguk, kemudian masuk kamar. Tidak lama kemudian Bapak keluar. "Bapak pergi dulu. Kalian tetap disini sampai Bapak pulang."
Ketiga orang itu menunggu sambil menduga-duga, apa yang Bapak lakukan di luar.
Tidak lama, kemudian Bapak muncul membawa celengan ayam dari plastik.
"Bapak beli ini di warung."
"Yaaa, Amir kira...." seru Amir agak kecewa.
"Mulai hari ini, celengan ini Bapak taruh diatas bufet. Kita semua harus mengisinya setiap hari sampai cukup untuk membeli hp."
"Horeee!!" Amir bersorak senang. Tuti diam-diam mengagumi Bapak yang bisa memecahkan masalah dengan bijaksana.
"Bapak yang pertama memasukkan uang ke celengan ini. "Bapak memasukkan uang sepuluh ribu.
"Emak menyusul." Emak memasukkan uang lima ribu rupiah.
"Sekarang, aku!" Tuti berlari ke kamar.
Ia mengeluarkan uang jajan yang dikumpulkan di dalam tas. Selama ini, ia tidak pernah jajan di sekolah. Tadinya, ia mau membeli majalah anak-anak. Tetapi sekarang ia berubah pikiran. "Mulai sekarang, aku akan memasukkan uang jajanku ke celengan ini"
Amir masih tidak bergerak. Emak, Tuti dan Bapak memandanginya. Amir berkata dengan malu, "Hari ini, uang jajanku habis kupakai untuk main PS. Tetapi, aku janji, besok akan mengisi celengan itu."
Sebulan berlalu. Bapak mengumpulkan anggota keluarganya untuk membuka celengan. Banyak sekali uang yang berserakan di lantai ketika Bapak mengosongkan isi perut ayam plastik itu.
Selama satu bulan ini, Emak mengambil cucian dari rumah mewah di ujung jalan. Lalu, sebagian upahnya dimasukkan celengan itu. Tuti juga setiap hari membantu mencuci piring di warung makan milik ibu temannya. Upahnya dimasukkan celengan. Amir setiap pulang sekolah, pergi ke stasiun kereta yang tidak jauh dari rumah mereka. Ia menyemir sepatu. Pendapatannya dimasukkan celengan.
"Dengan uang ini, Bapak bisa membelikan hp buat Amir. Sisanya bisa disimpan untuk keperluan sekolah kalian," kata Bapak.
"Karena hp-nya milik bersama, aku akan memakainya bergantian dengan Tuti," kata Amir. Tuti mengangguk dengan wajah berseri.
"Itu yang Bapak harapkan," kata Bapak sambil tersenyum. "Tetapi Bapak Punya satu permintaan."
"Apa, Pak?" tanya Emak, Amir dan Tuti serentak.
"Bagaimana kalau mengisi celengan ini kita jadikan kebiasaan sehari-hari? Amir dan Tuti tidak perlu bekerja sepulang sekolah. Cukup memakai sebagian uang jajan. Setuju?"
"Setuju!" sahut mereka serempak.
Permintaan Bapak tidak aneh-aneh, kan?