Friday, March 23, 2012

Cerpen Tentang Arti Sahabat


 Sahabat Sejati
(Oleh Agnus Dei, Maret 2012)

Hidup ini terasa indah ketika seorang sahabat hadir sebagai malaikat yang membawa pelita dalam kegelapan, yang siap menunjukkan jalan mana yang harus dipilih. Sahabat sejati tidak rela temannya terperosok dalam jurang atau meninggalkan temannya yang sedang sekarat dalam kesakitan. Kisah ini memberi inspirasi bahwa sahabat tidak pernah bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Sahabat adalah dia yang mau turut bergembira di saat temannya bergembira dan bersedih disaat temannya bersedih. Selamilah hidup ini dan jadilah bijak!


Teng… teng … teng … terdengarlah lonceng sekolah tanda bahwa sekolah sudah selesai. Semua anak berhamburan, berlari seperti semut yang keluar dari sarangnya ketika diusik oleh pengganggu. Di sudut sekolah tampaklah seorang anak laki-laki tertunduk lesu, memikirkan suatu beban yang harus ditanggungnya yang rasanya ia sendiri sulit untuk melepaskannya. Perlahan ia pun beranjak dari tempatnya berdiri dan mulai meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah.
“Saya pulang...“ begitulah ucapan Vincent setiap kali ia tiba di rumah setelah berpergiaan.
Terdengarlah teriakan dari dapur yang berseru “Sudah pulang le, ayo cuci kaki dan tanganmu dan lepas seragam dulu, baru setelah itu makan, ini ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan mu, telur dadar”.
Mendengar suara ibunya, beban yang tadi menggelayut di pundaknya terasa terlepas. Dan entah mengapa Vincent pun lupa akan permasalahan yang baru saja dia pikirkan.
Vincent bergegas mendekati ibunya yang sedang sibuk memasak di dapur.
“Hmm nikmat…” sambil mencium tangan ibunya.
“Bu … sekalian, aku ingin dibuatkan sambal terasi ya”.
“Wah kalau itu ibu sudah siapkan, tidak mungkin ibu melupakan sambal terasi kesukaanmu tapi ingat ya makan sambalnya jangan terlalu banyak supaya tidak sakit perut”.
“Iya bu”, jawab Vincent sambil mengangguk.
Tak berapa lama Vincent pun sudah menyantap habis makanan favoritnya, telur dadar plus sambal terasi. Seperti biasa, setelah makan selesai Vincent langsung mencuci semua piring serta peralatan dapur yang dipakai untuk memasak. Ini adalah pekerjaan Vincent sehari-hari sepulang sekolah. Vincent melakukan hal ini karena ia sangat menyayangi ibunya.
Setelah pekerjaan itu selesai biasanya Vincent minta ijin untuk bermain bersama teman-temannya. Vincent bersama teman-temannya kerap kali bermain sepak bola bersama. Permainan ini merupakan permainan favorit anak-anak di lingkungan tempat Vincent tinggal.
Seperti biasa sekitar jam tiga sore semua anak sudah berkumpul ditanah kosong yang kemudian mereka rubah menjadi lapangan sepak bola. Secara spontan dan tidak ada yang menyuruh semua anak mulai bergerak untuk mempersiapkan lapangan permainan. Ada yang mengatur batas gawang dengan menggunakan tumpukan batu dan sandal jepit, ada yang sibuk menentukan batas lapangan, ada juga yang menentukan titik tengahnya dan sebagian lagi sudah berbaris membentuk dua tim.
Kalau dilihat kerjasama mereka luar biasa, demi terciptanya permainan yang diidamkan bersama. Naluri alamiah mereka bekerja untuk memperhatikan apa yang dibutuhkan teman-temannya.
Setelah persiapan selesai, Vincent bersama teman-temannya sudah larut dalam permainan. Sampai-sampai sengatan sinar matahari yang masih terik sore itu tak dirasa. Mereka saling mengadu strategi bagaimana caranya supaya timnya menang.
Vincent termasuk anak yang pandai bermain sepak bola, terlihat dari cara ia membawa bola dan passing bola dilakukannya dengan sangat baik. Biasanya teman-temannya menjadikan Vincent sebagai mesin gol untuk timnya. Begitulah permainan berjalan dengan sangat ramai dan sportif. Sampai akhirnya terdengar suara teriakan dari salah satu rumah dekat lapang.
“Hai … sudah sore, ayo bubar, lekas mandi dan persiapan sholat”.
Teriakan itu seperti petir yang menggelegar, dan tanpa banyak bicara semua anak mulai meninggalkan lapangan, kembali ke rumah masing-masing. Demikian halnya dengan Vincent, ia pun segera pulang.
Malam itu, setelah mandi Vincent duduk termenung di pinggir jendela kamarnya. Memikirkan kembali perkataan gurunya bahwa ia belum membayar uang sekolah, dan ketika hal itu belum dilunasi maka ia tidak dapat mengikuti ujian sekolah. Dalam keheningan yang senyap tiba-tiba bapaknya menyentuh pundak Vincent dan berkata,
“Ada apa toh le, kok melamun saja”.
Vincent tersadarkan dari lamunannya, dan berkata,
“Tidak ada apa-apa kok pak”
“Loh tapi kok tadi melamun, kalau bapak lihat seperti ada yang kamu pikirkan dan sulit diselesaikan. Apa tadi di sekolah ada permasalahan? Atau marahan sama temanmu?”
Dengan lembut Vincent menggelengkan kepala.
“Tapi tidak biasanya kamu melamun biasanya kamu banyak cerita tentang sekolah kalau malam hari. Ya sudah kalau tidak ada permasalahan bapak ingin dengar cerita kamu di sekolah hari ini”.
Dengan tutur kata yang lembut Vincent bercerita bahwa di sekolah ia bermain dengan sahabatnya Iqbal, lalu disuruh untuk membantu ibu guru merapihkan lemari kelas yang sudah terlihat kotor dan tidak rapi. Senang rasanya dapat membantu ibu guru merapikan lemari itu, apa lagi setelah selesai, ibu guru memberi kami kue dan ice cream. Hmm enak deh pokoknya. Tapi kemudian ibu guru juga memberitahu Vincent bahwa Vincent belum melunasi uang sekolah dan katanya kalau belum lunas tidak dapat mengikuti ujian sekolah.
“Oh begitu ya kejadian di sekolah hari ini. Nah sekarang bapak tahu mengapa kamu termenung dan bersedih pasti karena perkataan ibu guru itu kan? Vincent dengar bapak ya, untuk uang sekolah bapak masih berusaha untuk mencari dan bapak janji akan membayar uang sekolah sebelum ujian berlangsung. Vincent tidak perlu khawatir, pokoknya Vincent belajar dengan baik dan tekun saja”.
Perkataan bapak membuat Vincent bergembira, sehingga terkembanglah senyum di bibir. Dan dalam hati Vincent berjanji ia tidak akan mengecewakan bapak dan ibunya, ia pasti dapat lulus dengan nilai yang baik. Setelah perkataan bapaknya berakhir, Vincent bergegas ke atas tempat tidur untuk berdoa mengucap syukur kepada Allah Bapa di surga. Vincent rajin berdoa karena  bapak dan ibunya mengajarkan bahwa berdoa itu penting.
Vincent dididik secara katolik oleh kedua orang tuanya. Hal doa dan cinta kasih kepada sesama merupakan nilai rohani yang selalu terngiang dalam telinganya. Vincent selalu ingat perkataan bapaknya bahwa  kemampuan manusia ada batasnya namun kekuatan doa dapat melampaui segala keterbatasan manusia. Oleh karenanya dalam segala situasi dan setiap hari Vincent selalu menyempatkan diri untuk berdoa. Demikianlah malam ini diakhiri dengan doa dan istirahat.
Hembusan angin pagi ini terasa dingin, Iqbal dengan suara lantang berseru memanggil Vincent
“Vincent … Vincent … ayo cepat kita harus berangkat ke sekolah, hari ini kita tugas piket kan?”
Dari dalam rumah terdengar teriakan Vincent,
“Iya hari ini kita piket“
Tak berapa lama Vincent sudah berlari keluar. Dengan sigap Iqbal membonceng Vincent dan segera meluncur ke sekolah. Di sepanjang jalan menuju sekolah Iqbal dan Vincent mengisinya dengan canda tawa dan juga tanya jawab tentang pelajaran. Sampai Iqbal bertanya,
“Kamu sudah siap ujian belum?”
Mendengar pertanyaan itu sebenarnya hati Vincent menjadi takut. Namun terucap juga dari mulut Vincent,
“Ya sudah dong, aku sudah mulai mempersiapkan dari sekarang. Pokoknya aku ingin memberikan hadiah yang indah untuk bapak dan ibuku nanti yaitu sebuah nilai ujian yang bagus.”
Vincent melanjutkan lagi ceritanya,
“Tapi aku juga tidak tahu, apa aku bisa ikut ujian atau tidak karena sampai saat ini aku belum melunasi uang sekolah ku”
“Loh kok bisa”, potong Iqbal
“Iya karena bapak ku tidak mempunyai uang untuk membayar uang sekolah”, katanya.  Akhir-akhir ini penjualan gorengan tidak seramai dulu.
“Oh gitu ya”
Dalam hati Iqbal berkata andai saja aku memiliki sedikit sisa uang pasti sudah aku bantu untuk meringankan bayaran sekolah sahabatku ini.
Tiba-tiba semuanya menjadi hening tanpa ada satu pun yang berbicara. Sampai akhirnya Iqbal berceloteh suatu hal.
“kalau buku dibalik jadi ukub, kalau tahu jadi uhat nah kalau sayur jadi apa coba?”
“Ya jadi ruyas”, jawab Vincent.
“Salah”, seru Iqbal
“Loh kok salah”, bantah Vincent.
“Kan kalau buku jadi ukub kalau tahu jadi uhat ya kalau sayur jadi ruyas dong”.
“Ah tetap salah, yang betul itu kalo sayur dibalik ya jadi tumpah dong”.
Ha ha ha ha ... kedua sahabat itu tertawa dengan riangnya. Tidak terasa mereka akhirnya sampai di sekolah. Dan tidak lama setelah sampai di sekolah mereka sudah disibukan oleh tugas piket yang sudah menunggu. Mereka membersihkan kelas sambil bernyanyi-nyanyi riang tanpa ada perasaan terbebani. Setelah sekian menit bekerja, Iqbal mengajak Vincent untuk mengakhiri tugas piket karena sudah bersih semua. Kedua sahabat ini kemudian ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan mempersiapkan diri untuk belajar.
Pelajaran pun dimulai dan ketika sedang belajar PKn, Vincent memperhatikan guru menjelaskan bahwa seorang anak dapat membantu bapaknya bekerja dengan cara ikut terlibat dalam pekerjaannya. Terlintas sejenak dalam pikiran Vincent bahwa ia harus membantu bapaknya berjualan tapi berarti ia harus berhenti untuk bersekolah. Hal ini merupakan kerugiaan karena akan menjadikan dirinya tidak dapat menuntut ilmu lebih jauh lagi.
Sepulang sekolah Vincent berkata kepada Iqbal,
“Menurut pendapatmu bagaimana pelajaran PKn tadi. Apa mungkin aku dapat melakuan tugas membantu orang tua sambil bersekolah ya”.
Iqbal dengan yakin menjawab,
“Pasti bisa, bagaimana kalau kita sambil bersekolah berjualan gorengan yang sudah dibuat oleh bapakmu. Pasti teman-teman yang lain akan membeli. Nah nanti hasil penjualannya sedikit demi sedikit ditabung pasti lama-kelamaan akan menjadi banyak. Dan akhirnya kamu dapat membantu bapakmu membayar uang sekolahmu. Bagaimana setuju dengan pendapatku?”
“Setuju!”, jawab Vincent.
“Baik kalau begitu kita mulai besok pagi”.
Keesokan harinya kedua sahabat ini sudah bersiap dengan membawa gorengan yang dibuat oleh bapak Vincent. Mereka datang ke sekolah pagi dan mulai menggelar gorengannya. Tak diduga sebelumnya ternyata banyak sekali yang membeli gorengan Vincent ini khususnya orang tua yang mengantar anak-anak kelas satu. Vincent senang sekali melihat gorengannya habis terjual.
Vincent tambah gembira karena banyak orang tua yang puas dan memuji keenakan dari gorengan yang dibawa Vincent. Hari demi hari dilalui oleh Vincent dibantu Iqbal melakukan hal ini. Dan tak terasa pundi-pundi uangpun terkumpul cukup banyak. Uang yang sudah terkumpul diberikan kepada bapak Vincent untuk menambah pendapatan keluarga. Ketika dihitung-hitung ternyata sumbangan dari Vincent cukup untuk melunasi uang sekolah sampai dengan ujian nanti. Vincent akhirnya dapat bernapas lega karena sudah yakin bahwa ia dapat mengikuti ujian.
Walaupun uang sekolah sudah dibayar namun Vincent tetap berjualan gorengan di sekolah karena ternyata gorengan miliknya disukai oleh orang tua. Dan yang menarik banyak yang memesan gorengan dari Vincent untuk konsumsi arisan dan pertemuan di rumah mereka masing-masing.
Jalan Allah memang tidak ada yang tahu, dari pembicaraan mulut-kemulut tersebarlah kabar tentang kelezatan dari gorengan Vincent ini. Bukan hanya orang tua di sekolah yang memesan tapi orang luar sekolah pun banyak yang memesan. Melihat perkembangan ini Vincent mengatakan kalau ada pemesanan silahkan datang ke rumah saja. Dan sejak saat itu Vincent tidak lagi berjualan di sekolah. Dan orang yang ingin memesan tinggal datang ke rumah dan bapak Vincent akan melayaninya. Bapak Vincent pun tidah harus berkelilng lagi untuk menjajakan gorengannya.
Hari ini Vincent kesekolah sendirian karena sahabatnya Iqbal tidak kunjung datang menjemput. Vincent berpikir mungkin Iqbal sakit.
Pulang sekolah Vincent bergegas pulang dan kemudian minta ijin kepada orang tuanya untuk pergi ke rumah Iqbal. Setelah mendapat ijin dari orang tua, Vincent pergi ke rumah Iqbal. Ternyata benar Iqbal sakit, ia demam tinggi. Orang tua Iqbal belum sempat membawa ke dokter karena belum ada biaya untuk berobat.
Iqbal, sahabatnya ini sedang tidur dengan pulasnya. Sampai akhirnya terbangun karena sentuhan ibunya. Walaupun bangun, Iqbal tidak mengatakan sepatah katapun. Melihat hal ini Vincent yang memulai berbicara.
“Iqbal berjuang ya, semangat kalahkan sakitnya”.
Mendengar kata dari sahabatnya Iqbal tersenyum.
Vincent melanjutkan kembali ucapannya, “Istirahat yang banyak ya, pasti cepat sembuh”.
Vincent menawarkan diri untuk mendoakan Iqbal secara katolik. Iqbal dan orang tuanya tidak keberatan akan sikap Vincent yang ingin mendoakan. Mulailah Vincent berdoa,
“Allah yang maha baik, Engkau adalah penyembuh yang abadi. Engkau berkuasa atas segala penyakit di dunia ini. Maka kiranya Engkau tetap hadir di tempat ini untuk menyembuhkan sahabatku Iqbal. Kami percaya kuasa-Mu dapat mengusir penyakit dari tubuh ini. Berkatilah juga obat yang dikonsumsi oleh Iqbal kiranya lewat obat ini pula kuasa-Mu hadir dan tercurah. Berkatilah juga keluarganya supaya tetap sabar menghadapi cobaan ini. Amin”.
Setelah berdoa, Vincent pun pamit pulang. Dalam perjalanan pulang Vincent tetap berdoa untuk kesembuhan sahabatnya, Iqbal. Vincent tetap yakin bahwa kuasa doa melebihi segalanya.
Hari berikutnya ternyata Iqbal belum masuk sekolah juga. Vincent kembali ke rumah Iqbal dengan membawa pisang. Dan ia melihat kondisi Iqbal belum menunjukkan tanda membaik. Orang tua Iqbal sudah mencoba untuk membawa ke puskesmas dan mendapat obat dari puskesmas. Setiap kali berkunjung ke rumah Iqbal, Vincent selalu mengakhirinya dengan mendoakan. Syukur kepada Allah lewat obat dan doa akhirnya Iqbal berangsur-angsur membaik.
Persahabatan dua anak ini sungguh sangat murni walaupun mereka berbeda keyakinan namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk saling mendukung sebagai sahabat, mereka tidak pernah bergembira di atas penderitaan sahabatnya.
Semenjak sembuh dari sakit Iqbal tidak terlalu banyak bermain. Ia masih harus banyak beristirahat. Apalagi sebentar lagi sudah mendekati ujian sekolah. Walaupun demikian Vincent tetap berkunjung ke rumah Iqbal untuk membantu belajar supaya nanti siap dalam mengerjakan ujian.
Demikian selanjutnya waktu mereka banyak digunakan untuk belajar dan belajar. Mereka rela untuk sejenak meninggalkan keinginan untuk bermain. Mereka konsentrasi pada ujian yang ternyata tinggal satu bulan lagi.
Satu bulan bukan waktu yang lama bagi kedua sahabat ini. Tak terasa setelah sekian lama belajar bersama, besok adalah hari yang sangat menentukan kelanjutan hidup mereka. Mereka dihadapkan pada tantangan ujian sekolah. Namun kedua sahabat ini optimis mereka dapat menyelesaikan ujian dengan baik.
Setelah bergumul dengan ujian kurang lebih satu minggu. Dengan perjuangan yang keras, dengan mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki, akhirnya kedua sahabat ini boleh lega karena ujian sudah berakhir. Mereka tinggal menunggu hasil ujian yang akan keluar satu bulan ke depan.
Satu bulan menjelang kelulusan digunakan oleh kedua sahabat ini untuk menjajakan gorengan bapak Vincent. Walaupun berat namun keduanya senang karena bisa saling membantu. Mereka tambah bahagia ketika sepulang dari menjajakan gorengan mereka mendapat upah dari bapak Vincent. Upah ini mereka tabungkan dengan harapan suatu saat uang yang terkumpul bisa digunakan untuk biaya sekolah.
Tak terasa satu bulan sudah selesai, dan tibalah hari kelulusan. Dengan hati yang berdebar-debar kedua sahabat ini bergegas ke sekolah. Setelah menunggu guru sekian lama dan acara kelulusan yang menegangkan sampai jugalah pada penerimaan surat kelulusan. Semua anak dipanggil satu-satu ke depan untuk menerima surat keputusan.
Vincent dan Iqbal merasa khawatir karena nama mereka belum dipanggil-panggil. Dan sampai surat keputusan habis di tangan guru ternyata Vincent dan Iqbal tidak dipanggil. Sedih bercampur bingung mewarnai kedua sahabat ini. Di tengah kebingungan dan kepanikan, guru memanggil Vincent dan Iqbal dan berkata,
“Surat kalian tidak ada!”
Vincent dan Iqbal tertunduk lesu.
Guru melanjutkan kembali, kalau surat tidak ada berarti besar kemungkinan kalian tidak lulus. Nah coba bersabar dulu ya, silahkan kembali ke tempat duduk.
Setelah Vincent dan Iqbal berjalan beberapa langkah menuju tempat duduk, guru melanjutkan acara dengan membaca siswa yang mendapat bea siswa. Semua anak tegang dan kemudian disebutlah nama bahwa yang menerima bea siswa untuk jenjang berikutnya yaitu
“Vincent dan Iqbal”
Pembacaan keputusan nama yang memperoleh bea siswa itu, diiringi tepuk tangan meriah dari semua teman-teman yang ada di sana. Tanpa di duga bahwa Vincent dan Iqbal memperoleh prestasi yang sangat baik sehingga mendapat bea siswa dari pemerintah. Vincent dan Iqbal yang tapi tertunduk dan sedih menjadi bergembira apalagi disambut tepuk tangan meriah dari teman-temannya.
Vincent dan Iqbal segera maju ke depan untuk menerima surat keputusan lulus dan sertifikat bea siswa. Begitulah kegembiraan yang dirasakan oleh kedua sahabat ini. Hal ini merupakan perwujudan janji mareka, bahwa mereka ingin memberikan hadiah yang terindah untuk orang tua mereka.
Setelah kelulusan Vincent dan Iqbal tetap bersahabat baik, apalagi keduanya masuk dalam satu sekolah unggulan yang ada di kota itu. Keduanya tetap melanjutkan persahabatan mereka. Walaupun kesibukan dan tantangan semakin besar tapi persahabatan mereka tidak pernah luntur tergerus arus cobaan. Mereka tetap memegang janji untuk tetap menjadi sahabat yang satu rasa dan memikul sebuah permasalahan bersama-sama. Inilah persahabatan sejati, berbeda keyakinan bukan penghalang untuk menjadi sahabat.



S E L E S A I


No comments:

Post a Comment