Gadis Cantik
Oleh Agnus Dei, Dikala sunyinya malam menguasai kegelapan di relung hati
Perjumpaan ku dengan dirinya terjadi kebetulan saja. Perjumpaan yang tidak begitu menarik namun merupakan awal kehidupan ku yang penuh warna. Sebelum memulai kisahku, aku ceritakan sekelumit tentang diriku. Aku bernama Gregorius Ferguson, tinggal di daerah dingin bernama Lembang. Aku adalah ketua OSIS di SMA Aloysius Gonzaga. Bagiku kehidupan yang ku jalani tidak ada yang istimewa. Hari demi hari dilalui dengan belajar dan belajar, dari matahari terbit hingga terbenamnya. Kerap kali rutinitas ini membuat ku merasa tak berarti dan tanpa harap.
Namun semenjak kehadiran dirinya semuanya menjadi berubah. Gadis misterius dan lucu itulah dia, muncul di saat aku tanpa harap. Perjumpaan ku dengan dirinya pertama kali sekitar satu tahun yang lalu. Ketika itu seperti biasa sepulang sekolah aku berdiri di halte depan sekolah, menunggu bus kota. Tiba tiba,
Gedebug….
Seorang gadis terjatuh tepat di sampingku. Dengan sigap aku membantu sambil bertanya,
“Apa ada yang luka?”
Jawabnya “tidak ada, sambil mencoba untuk berdiri”
“Mari saya bantu” sambil mengulurkan tanganku kepadanya.
Gadis itu menggapai tanganku, berdiri, dan bergegas berlalu dari hadapanku sambil berucap terima kasih.
"Ah, mengapa dia langsung pergi? Tidak kah sedikit saja dia menjelaskan sesuatu?"
Sudahlah mungkin dirinya sedang terburu-buru. Mengapa aku jadi memikirkan gadis itu terus. Sudahlah lupakan saja kejadian ini. Itu dia bus kotaku tiba. Broom …. Broom …. tersemburlah asap kenalpot bus memenuhi angkasa tuk mengantarku pulang ke rumah.
Buzz … buzz … HP ku bergetar tanda bahwa sepucuk SMS telah sampai pada ku. Ternyata dari Mikael temanku
“kita jalan-jalan ke BEC yuk, aku ingin mencari modem untuk laptopku nih”.
Sejenak aku berpikir. Kemudian tangan ku dengan lincah mengetik
“Ok, kebetulan sekali aku juga ingin mencari memory card untuk HP ku nih!”.
Tak lama kedua sahabat dekat ini sudah meluncur di bawa oleh hasrat menuju BEC.
Tak disangka dan tak diduga, saat sedang asik melihat modem dan memory card, kembali gadis misterius itu muncul di hadapan ku. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Langsung saja aku menghampiri dirinya dan mengajak untuk berkenalan.
“Fergi” sambil mengulurkan tangan minta perkenalan.
Gadis itu sedikit mengkernyitkan dahi lalu,
"Oh kamu ya, yang tadi di halte itu. Aduh terima kasih ya, waktu itu kamu udah menolong aku."
"Namaku Maria Clara Widyawati, tapi panggil ajah aku wiwit."
Oh nama yang indah, pas sekali di sandang oleh gadis yang berparas cantik seperti dirinya.
Kalau boleh di gambarkan seperti artis film-film Korea.
Oh nama yang indah, pas sekali di sandang oleh gadis yang berparas cantik seperti dirinya.
Kalau boleh di gambarkan seperti artis film-film Korea.
“Wah sedang mencari apa di sini?” Tanyaku.
“Ini aku sedang mencari CD musik klasik Beethoven. Kebetulan sebentar lagi aku akan tampil mengisi acara di Gereja ku.”
“Oh begitu …..”
“Eh … Perkenalkan ini teman ku, Mikael.”
“Hai ….”
“Hai juga.”
Perjumpaan kali ini terputus karena Mikael memberi isyarat harus bergegas mencari barang buruannya sebelum toko-toko tutup.
“Ok Wit, karena toko sudah mulai sepi kita sambung lagi nanti di sekolah ya. Kebetulan kami harus segera mendapatkan barang yang ingin kami cari.”
Begitulah perkenalan ku dengan Wiwit berlangsung sangat singkat namun penuh kesan. Dan hari-hari ke depan diwarnai oleh canda dan tawa baik di sekolah, maupun di tempat di mana kita berjanji untuk bertemu.
Seperti halnya pada suatu sore ketika matahari enggan memunculkan sinarnya karena terhalang oleh tebalnya awan menghitam. Kami berjalan-jalan di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Taman yang dihiasi oleh puluhan jenis bunga yang berwarna warni. Begitu damainya suasana di sini hingga kami pun merasa enggan untuk meninggalkan tempat ini. Namun kebahagiaan ini harus terusik oleh rintik hujan yang mulai jatuh ke tanah. Kami pun berlari kecil mencari tempat berteduh, dan didapatlah sebuah tempat yang menurut kami sangat cocok untuk tetap bersama yaitu sebuah toko buku Gramedia.
“Menurut mu mengapa toko ini begitu banyak pengunjungnya?” Tanyaku pada Wiwit.
“Entahlah mungkin saat ini begitu banyak orang haus akan pengetahuan sehingga ingin mengisi otak mereka dengan segala informasi atau mungkin juga karena mereka punya kerinduan untuk mengisi hasrat imaginasi mereka dengan membaca novel-novel keren yang ada di sini.”
“Hmmm ……setuju deh.”
Sejenak terdiam, lalu aku mengalihkan topik pembicaraan. Dari pada kita hanya melihat orang lain dan mengomentari lebih baik kita lihat-lihat buku tentang teknologi informasi dan komunikasi saja, kan sebentar lagi ada test praktek TIK.
“Ok deh.” Jawab Wiwit singkat.
Tak berapa lama kamipun sudah larut dalam perburuan buku referensi untuk TIK sampai-sampai tak terasa hujan sudah berhenti dan sang surya sudah berani menampilkan terangnya. Kami tersadar dan segera pergi untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sehari terlewati dan setiap hari menjelang malam pikiran ku galau, karena ingin rasanya malam cepat berlalu dan diganti pagi, serta tak tahan mulut ini berucap selamat pagi wiwit. Susah tidur namun karena lelah tubuh ini tak kuasa menahan kantuk, akhirnya tertidur.
Kring…. Kring … suara jam beker memanggilku tuk segera bangun. Dengan bergegas aku pergi ke kamar mandi tuk siap pergi ke sekolah.
“Mikael ayo cepat kita harus pergi pagi-pagi nih.”
“Loh tumben biasanya paling susah kamu diajak berangkat.”
“Karena hari-hari ini merupakan hari terindah dalam hidupku. Setiap kali berjumpa dengan dirinya hanya satu yang ingin dilakuakan yaitu ku ingin membahagiakan dirinya seumur hidup.”
Begitulah semuanya berjalan dengan riang dan gembira, hari demi hari, minggu demi minggu bahkan bulan demi bulan. Sampai suatu hari aku memberanikan diri berkata kepada dirinya bahwa aku ingin selalu membawa senyum gembira kepadamu tuk mendukungmu dalam susah dan gembira.
Tak disangka Wiwit memberi respon positif akan hal itu, dengan memberi sedikit ujian kepada ku bahwa aku harus memberikan serangkai bunga mawar berwarna merah saat konser musik klasik di gereja nya nanti karena saat itu juga merupakan hari ulang tahun dirinya.
Ujian dari Wiwit membuatku galau.
“Aduh bagaimana aku harus melakukannya, pasti banyak yang akan mentertawan aku nanti.” Pikirku, Ah biarkan saja, akan kubuktikan aku mampu untuk memberikan secercah senyum untuk dirinya.
Hari konser Wiwit pun tiba. Aku berjalan tergesa menuju gedung serba guna gereja. Di dalam gedung itu tampak ribuan mata menyaksikan penampilan piano Wiwit. Dan ketika lagu klasik Canon in C (Variation of D Mayor) dikumandangkan aku tertegun karena tarian tut tut piano yang di mainkan Wiwit begitu indah sehingga perasaan ku terbawa melayang. Tak terasa aku pun mulai melangkah ke depan tuk menghantarkan serangkai bunga mawar merah tanpa ada perasaan malu atau takut. Ku berdiri di samping dirinya yang dengan lembut menekan tut tut piano. Dan tak berapa lama dia pun berhenti memainkan piano dan mendekatiku.
Suatu perasaan yang luar biasa ketika mata kami saling bertemu bertatapan. Terasa dunia menjadi milik kami berdua. Ku perembahkan serangkai bunga mawar merah ke dalam dekapannya. Dan ku bisikan,
“Happy birthday”
“Thanks”, dengan penuh kelembutan.
Orang banyak yang menyaksikan peristiwa ini bertepuk tangan, menyetujui dua hati yang sedang berpadu dalam kasih.
Setelah peristiwa itu hari-hari diwarnai dengan kisah kasih kami berdua. Kami melakukan hal-hal gila seperti halnya berperan sebagai anak-anak bengal, pergi ke bar, dan berpesta di tempat disko. Namun itu semua hanya sebatas ungkapan kegembiraan.
Tak terasa libur semester pun tiba. Aku mengajak Wiwit ke sebuah tempat favoritku di bukit Lembang. Tempat yang sangat bagus, terlihat deretan rapi dari pohon-pohon teh yang hijau dan segar. Tepat di tengah-tengah hamparan pohon teh, tumbuhlah pohon pinus yang besar dan terlihat kokoh. Di sanalah aku membawa Wiwit untuk beristirahat sejenak dan berteduh dari teriknya sinar matahari. Dari tempat ini kami dapat menyaksikan kota Bandung dengan sudut pandang yang jelas dan sangat indah.
Sinar wajah gadis manis ini terpancar saat melihat keindahan alam dan kota Bandung dari kejauhan seperti cahaya malaikat. Kami pun menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk mencurahkan segala duka dan suka hidup kami dalam selembar kertas. Kami bertukar kertas dan membacanya lalu kertas itu dipendam dalam lubang yang tertutup oleh batu.
Begitulah kami menghabiskan masa liburan kami. Sampai suatu hari minggu Wiwit mengajakku ke bukit pinus dan menceritakan sebuah kisah. Saat dia bercerita terasa seperti kilat yang menyambar di saat hari terang. Di luar dugaan, keluarga Wiwit harus pergi ke luar kota karena tugas orang tuanya berpindah. Hati kami menangis membayangkan hari-hari perpisahan ke depan. Namun karena memang hal itu harus terjadi maka kami hanya bertekat janji bahwa tempat ini akan menjadi pertemuan kita kembali saat kita lulus SMA.
Satu tahun berlalu dengan cepat. Cerita kami hanya diwarnai oleh SMS dan berbicara melalui HP. Selama itu pula aku hanya belajar dan belajar agar lulus SMA dengan nilai yang bagus dan masuk ke perguruan tinggi negeri seperti yang aku cita-citakan. Jika kerinduan melanda, aku hanya mengenang kembali kisah-kisah bersama Wiwit. Namun kenangan-kenangan itu belum sepenuhnya mengobati kerinduanku tuk berjumpa dengannya. Sejak perpisahan di bukit pinus itu, aku tidak pernah ke bukit itu lagi. Entah seperti apa rupanya sekarang.
Hari yang menegangkan pun akhirnya tiba yaitu saat di mana aku harus menghadapi UASBN. Semua upaya aku persiapkan dengan harapan aku dapat memperoleh nilai yang terbaik untuk ujianku. Segala perjuangan dan cucuran keringat sudah aku keluarkan dan akhirnya selesai jugalah ujianku. Dengan gembira aku bersorak,
“Yes, sudah selesai”
Tak sabar rasanya tiba di hari kelulusan bukan untuk mendengarkan hasil kelulusan melainkan perjumpaan dengan Wiwit yang sudah lama dirindukan.
Akhirnya tiba jugalah hari kelulusan dan saat itu semua teman-temanku bersorak gembira karena semua dinyatakan lulus. Setelah acara itu aku bergegas pergi ke bukit pinus tuk bersiap berjumpa dengan gadis yang paling di rindukan. Sengaja aku pergi dari pagi supaya awal berada di sana.
Jalannya detik waktu terasa lama sekali seperti tak mau bergerak. Satu jam telah berlalu namun belum ada tanda-tanda kehadirannya. Lima jam berlalu belum juga terlihat sosok gadis yang dirindukannya. Muncullah keresahan di dalam diri.
“Apakah Wiwit lupa akan janjinya”
“Apakah dia sudah melupakan aku”
Semua pikiran-pikiran negatif pun bermunculan memenuhi pikiran ku. Sampai matahari kembali ke peraduannya pun ternyata Wiwit tidak datang juga. Dengan langkah lunglai aku kembali ke rumah dengan sedikit harap mungkin besok Wiwit tiba.
Besok paginya aku sudah pergi ke bukit itu dan merapikan tempat itu dan menghiasnya menjadi indah. Namun sehari berada di sana Wiwit tidak kunjung datang pula. Aku sedih sekali, apa lagi sudah lama telepon atau SMS tidak pernah dibalas. Semuanya begitu sangat aneh.
Sampai suatu hari tepatnya satu bulan setelah janji kami untuk bertemu dibukit, aku kembali lagi ke tempat itu, dan tetap tidak menemukan gadis pujaanku. Dalam kesedihan dan kesendirianku muncullah seorang bapak tua yang biasa mencari kayu bakar, dan berkata,
“Tempat ini menjadi saksi dua anak manusia yang saling mencintai.”
Bapak itu melanjutkan kembali ceritanya,
“Beberapa bulan yang lalu, tempat ini didatangi oleh seorang gadis sama seperti adik bersedih, seperti dunia ini tak berarti. Lalu gadis ini berkata kepada bapak bahwa tempat ini seharusnya menjadi tempat pertemuan yang membahagiakan namun rasanya hal itu tidak akan pernah terjadi. Gadis itu hanya menuliskan sesuatu lalu memendamkannya dalam lubang di bawah pohon pinus itu lalu di tutup batu.”
Mendengar cerita bapak itu aku pun langsung menuju pada sebuah batu tepat di bawah pohon pinus itu. Aku bersihkan rumput yang menghalangi batu itu dan ku buka batu itu dan didapatilah sebuah kertas dalam botol. Dengan perasaan was-was aku membuka botol itu dan membaca surat yang tertulis.
Dear Fergi,
Hari-hari bersama diri mu merupakan hal terindah dalam hidupku. Segala suka dan duka sudah kita lewati bersama. Semuanya begitu indah. Namun kehidupan ini bukan aku yang mengatur. Aku pun tidak ingin seperti ini. Semuanya terjadi begitu saja dan sangat cepat. Setelah aku sampai di kota yang baru aku tetap berharap bahwa aku dapat berjumpa dengan dirimu suatu saat nanti. Namun sebuah peristiwa atas diriku membuat aku menjadi tidak yakin apakah kita masih dapat bertemu. Aku tetap berharap saat kelulusan SMA kita dapat bertemu di tempat ini namun jika saat itu tiba dan aku tidak ada berarti aku sudah terbang menuju suatu tempat di mana tidak ada manusia yang dapat menjangkaunya. Sengaja aku datang lebih awal beberapa bulan untuk membuat sebuah pesan karena aku tidak mau membuatmu sedih. Dengan sisa-sisa tenagaku yang masih ada, aku mencoba untuk menulis pesan ini. Semoga pesan ini membuat mu mengerti bahwa aku tetap menyayangimu dan mencintaimu. Aku tidak lupa akan janji kita. Hanya memang rencanaNya jauh lebih agung dari segalanya. Mungkin itu saja yang dapat aku ceritakan tetaplah berjuang untuk meraih cita-citamu.
With love Wiwit.
Hancur dan bersedih hati ku membaca pesan dari Wiwit. Tidak henti-hentinya aku menangis tak dapat menerima kenyataan ini. Semuanya begitu aneh sebuah kebahagiaan tertutup oleh satu peristiwa kehancuran. Tuhan mengapa ini semua terjadi. Mengapa…………….??
Lama aku berdamai dengan diriku akan hal ini, namun aku teringat kembali akan pesan Wiwit bahwa aku harus terus berjuang untuk meraih cita-citaku. Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk memahami rencanaNya yang ternyata penuh misteri. Dalam perasaan yang masih tergoncang aku berkata,
“Love you Wiwit, I hope you be happy in heaven”
“God help me to take your way”.
S E L E S A I